Jumat, 30 Juli 2010

Kerajaan Indrapura

Kerajaan Inderapura merupakan kerajaan yang berada di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan sekarang, di dekat perbatasan dengan provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah menjadi bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung. Pada prakteknya Inderapura berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya.

Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada, dan juga emas.

Dari segi usia sebenarnya kerajaan ini lebih duluan muncul daripada kerajaan Pagaruyung tapi di kemudian hari kerajaan Pagaruyung melakukan ekspansi ke wilayah Pesisir Bandar Sepuluh melalui Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu. Dan dari segi historis geneologis, raja-raja kerajaan ini masih bertali darah dengan raja-raja Minangkabau di Luhak Tanah Datar yang sudah memerintah sebelum kerajaan Pagaruyung didirikan di Pagaruyung

Asal Usul Penduduk
Penduduk Inderapura berasal dari beberapa daerah asal seperti umumnya masyarakat Bandar Sepuluh atau nagari yang lain di Pesisir Selatan. Ada tiga gelombang kedatangan leluhur masyarakat Inderapura yaitu :

Delapan keluarga dari Pariangan Padang Panjang yang kemudian dikenal sebagai Salapan Nan di Tangah

Enam keluarga dari Sungai Pagu yang disebut juga Anam di Ilia.

Enam keluarga dari daerah lain misalnya Kerinci, Muko-muko (Bengkulu).

Disamping itu terdapat pula keturunan Jawa, Bugis dan Malaka di Inderapura.

Setelah Kerajaan Inderapura runtuh, sebagian penduduk dan ahli waris kerajaan ada yang melarikan diri ke Air Bangis, Pasaman dan mendirikan pula kerajaan kecil disana.

Pemerintahan
Pada akhir abad ketujuh belas pusat wilayah Inderapura, yang mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura, terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya.

Daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto). Sistem pemerintahan di sini tak jauh berbeda.

Di bagian paling selatan pemerintahan dilakukan sesuai dengan adat Sumatera Selatan. Desa-desa berada di bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh).

Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.

Pada penghujung abad ketujuh belas para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah. Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung. Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.[1]

Sejarah
Berdirinya Kesultanan Inderapura (1100 - 1911 M)
Kesultanan Indrapura berdiri di atas keruntuhan Kerajaan Lama Indrapura yakni periode Kerajaan Teluk Air Pura abad IX SM - XII M (80 SM - 1100 M). Tidak disebut nama pendirinya kecuali Pimpinan Adat. Ada disebut tahun 134 SM lahir Indo Juita kemudian tahun 110 SM menikah dengan Indera Jati, moyang Inderapura dan melahirkan keturunan raja-raja.

Pada episode berikutnya Zatullahsyah datang ke Air Pura dan mendirikan Kerajaan Air Puradi Teluk Air Pura pada awal abad ke-12. Wilayahnya adalah Muara Campa, Air Puding dan Air Pura dekat Muara Air Sirah dan Sungai Bantaian Nagari Inderapura sekarang. Basis perekonomian rakyat tani (ladang) dan nelayan serta mencari hasil hutan. Masa pemerintahan Zatullahsyah datang 3 orang anak saudara kandungnya (Hidayatullahsyah). Tidak lama di Air Pura, Sri Sultan Maharaja Diraja mendapat perintah Zatullahsyah, pergi ke Gunung Marapi, didampingi seorang temannya bergelar Cati Bilang Pandai dan dibantu putra sepupunya Sultan Muhammadsyah (putra dari perkawinanan Zatullahsyah dengan Dewi Gando Layu). Di sana ia mendirikan kerajaan di Parhyangan (Pariangan) yang disebut sebagai nagari asal sebagaimana halnya Air Pura. Sri Sultan Maharaja Diraja kawin dengan Puti Jamilan dan melahirkan beberapa orang anak.

Periode Air Pura & Inderajati (1100 – 1500 M)

Raja Indrayana (pangeran mualaf dari Sriwijaya) & Sultan Indrasyah Galomatsyah

Kerajaan Inderapura disebut pula sebagai Kerajaan Air Pura yang mengalami 4 episode sejarah. Dua episode I (Kerajaan Air Pura - Indrajati) dan dua episode II (Kesultanan Indrapura - Era Regen). Dua episode I Kerajaan Air Pura dilanjutkan oleh kepemimpinan Kerajaan Indrajati (Indra di Laut) abad XII - XVI (1100 - 1500). Berawal dari datangnya Indrayana disebut putra mahkota Kerajaan Sriwijaya yang terusir karena masuk Islam, menetap di Pasir Ganting dan mendirikan Kerajaan Indrajati. Ia mengangkat dirinya sebagai raja pertama kemudian putranya bernama Indrasyah Sultan Galomatsyah melanjutkan sebagai raja kedua. Dalam perjalanannya kerajaan ini pernah diincar ekspedisi Pamalayu I (1247) di samping Kerajaan Darmasraya, (Kerajaan Siguntur]] yang kemudian menjelma menjadi Kerajaan Pagaruyung (1343).

Periode Inderapura & Regen (1500 – 1824 M)
Lihat Daftar Raja Inderapura

Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah (Cumatang St. Sakelap Dunia) & Usmansyah St. Firmansyah

Dua episode Kesultanan Indrapura berikutnya abad XVI - XIX (1500 - 1824) dilanjutkan era kepemimpinan Regen abad XIX - XX (1824 - 1911). Episode sejarah sampai naik tahtanya raja ke-11 Kerajaan Indrajati Cumatang Sultan Sakelab Dunia gelar Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah, kerajaan berubah menjadi Kesultanan Indrapura dengan raja pertamanya adalah Cumatang sendiri. Penggalan sejarah berikutnya masa Sultan Usmansyah gelar Sultan Firmansyah, tahun 1550 dikukuhkan batas wilayah. Utara berbatas Air Bangis, Pasaman sekarang - Batang Toru (Batak), Selatan berbatas Taratak Air Hitam Muara Ketaun (Bengkulu), Timur berbatas Durian Ditakuak Rajo, Nibuang balantak mudik lingkaran Tanjung Simeledu (sepadan Jambi) dan Barat berbatas laut leba ombak badabua (Samudra Indonesia). Wilayah semakin menyusut diawali berberapa daerah Kesultanan Indrapura pro Inggris yakni Mukomuko, Banta, Seblat dan Ketaun memisahkan diri tahun 1695 jadi Kerajaan Anak Sungai dengan ibu negeri Mukomuko, dipimpin Sultan Gelomatsyah.

Organisasi pemerintahan Kesultanan Indrapura memakai sistem kabinet parlementer, dipimpinan tertinggi Sultan (Raja), dilaksanakan Perdana Mentri (Mangkubumi) dibantu Menteri Nan-20 dari para penghulu (6 di Hulu, 8 di tengah, 6 di Hilir).

Berkembangnya Inderapura
Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Dengan melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad kelima belas, seperti daerah-daerah pinggiran Minangkabau lainnya, antara lain Indragiri dan Jambi, Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.


Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.

Salah satu makam raja Inderapura

Saat tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tidak diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan ini bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan abad keenam belas didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di propinsi Bengkulu). Pada masa ini Inderapura menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh. Saat itu Kesultanan Aceh sudah melakukan ekspansi sampai wilayah Pariaman.

Persahabatan dengan Aceh dipererat dengan ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura, dengan Sri Alam Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575). Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh). Hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Namun kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum disingkirkan dengan dukungan para ulama.

Namun pengaruh Inderapura tak dapat disingkirkan begitu saja. Dari 1586 sampai 1588 saudara Raja Dewi memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II, sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.[1]

Kemerosotan
Di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636), seraya memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya, Aceh berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai panglima)di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.

Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan Iskandar Muda yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Putih yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Putih.

Di bawah pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC).[1]

Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammadsyah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini menyebabkan Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayahnya, Raja Malfarsyah, dan kakak iparnya, Raja Sulaiman. Sebagai imbalan dijanjikan hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas.

Sebagai reaksi terhadap serbuan rakyat ke kantor dagang di Inderapura tanggal 6 Juni 1701 VOC membalas dengan mengirim pasukan yang tidak hanya membunuhi dan merampok penduduk tetapi juga memusnahkan semua tanaman lada yang merupakan sandaran ekonomi Inderapura. Keluarga raja Inderapura mengungsi ke pegunungan. VOC mengangkat Sultan Pesisir sebagai raja.

Inderapura akhirnya benar-benar runtuh pada 1792 ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena pertengkaran komandannya dengan Sultan Pesisir. Raja Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan meninggal di sana (1824).[2]

Hulubalang Raja, novel karangan Nur Sutan Iskandar yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1934, antara lain menceritakan pemberontakan rakyat Inderapura terhadap Sultan Muhammadsyah yang terjadi tahun 1662. Menurut cerita ini, pemberontakan tersebut terpicu oleh ulah istri Sultan Muhammadsyah yang membunuh saudara Raja Adil.[

Tidak ada komentar:

Posting Komentar